Strategi Perajin Bambu Pulau Dewata di Tengah Gempuran Pandemi Covid-19

Beritabalionline.com – Berbagai cara dan upaya dilakukan perajin Pulau Dewata, Bali untuk tetap bisa bertahan di tengah gempuran pandemi Covid-19, seperti yang dilakukan salah satu perajin asal Kabupaten Klungkung, I Wayan Suparta (41).
Sebelum pandemi Corona, bapak dua orang anak ini mengandalkan hidupnya dari sektor pariwisata dengan menjadi sopir. Namun kini pria asal Banjar Sangging, Desa Akah, Klungkung ini terpaksa harus balik haluan, yakni kembali menggeluti usaha sebagai perajin bambu yang dulu pernah ditinggalkannya selama menjadi sopir freelance pariwisata.
Berbekal ketekunan dan strategi yang dilakukannya sebagai perajin bambu, Suparta mengaku tetap bisa menghasilkan uang dan mencukupi kebutuhan keluarganya di tengah hantaman pandemi yang melanda negeri ini, walau dengan penghasilan pas-pasan.
Hal ini bisa dilihat dari berbagai produk kerajinan berbahan bambu yang dihasilkan dari buah tangan Suparta yang terpajang di areal rumahnya.
Lewat sentuhan tangan terampilnya, Suparta mampu menghasilkan berbagai produk kerajinan berbahan bambu. Mulai dari kap lampu, lampu hias, kursi, meja, hingga gazebo yang semuanya terbuat dari bambu.
Ditanya produk kerajinan bambu yang dihasilkannya, jenis apa saja yang paling banyak diminati konsumen? “Terbanyak lampu hias, kursi, meja dan gazebo yang semuanya berbahan bambu,” ujarnya.
Dalam mengembangkan usaha kerajinan bambu, Suparta juga mengaku punya pelanggan yang ada di seputaran wilayah Kabupaten Klungkung. Namun dia juga tidak menampik ada beberapa pelanggannya dari luar Klungkung, seperti Kabupaten Gianyar, Karangasem dan Kota Denpasar.
“Beberapa pelanggan saya ada juga dari luar Kabupaten Klungkung. Untuk pelanggan dari luar Klungkung kebanyakan memesan untuk dibuatkan gazebo berbahan bambu,” tutur Parwata, seraya menyatakan produk kerajinan yang dihasilkannya umumnya tergantung pesanan dari pelanggannya yang dikejar melalui media sosial miliknya.
Dijelaskannya, berbagai cara dan upaya dilakukan agar dapat memasarkan produk kerajinan bambunya. Mulai dari pesanan lampu-lampu hias dengan harga puluhan hingga ratusan ribu rupiah, hingga bangunan gazebo yang bisa dibongkar pasang yang harganya bisa mencapai empat juta rupiah, tergantung motif dan ukurannya.
Suparta bekerja di kediamannya yang langsung dijadikan tempat kerajinan dan pameran rumah, sehingga jika ada pembeli yang datang bisa langsung tertarik dan memesan barang kepadanya.
Selain penjualan mengandalkan media sosial, Suparta mengaku saat ini ia juga bekerja sama dengan usaha-usaha iven organiser, untuk penyewaan alat-alat yang diproduksinya.
Selain dapat sewa, karyanya tersebut nantinya juga bisa dijual. Dengan upayanya ini, Suparta mengaku bisa menghidupi dua anaknya yang masih sekolah dan istrinya untuk kebutuhan sehari-hari.
Menjadi perajin bambu dilakoni Suparta sejak tahun 1997. Setelah kondisi pariwisata Bali anjlok akibat pandemi Covid-19. Dimana awalnya dia sebagai sopir freelance pariwisata sudah tidak bisa berbuat banyak karena tidak adanya wisatawan ke Bali, sehingga usaha kerajinan inipun kembali digelutinya.
Dia berharap, pariwisata Bali segera pulih, sehingga pesanan kerajinan bambu buatannya kian banyak diminati, utamanya dari sektor wisata yang memesan produknya sebagai supenir ataupun untuk sarana di vila atau hotel.
Daya Beli Menurun
Sementara itu ditemui secara terpisah, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Ekspor dan Produsen Handicraft Indonesia (Asephi) Bali I Ketut Darma Siadja mengakui bahwa ekspor kerajinan tangan Bali lesu sejak pandemi Covid-19 dimulai Maret 2020 lalu hingga saat ini.
Dikatakannya, kerajinan tangan merupakan salah satu industri yang digerakkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Selain pariwisata dan pertanian, Bali juga mendapatkan sumbangsih dari industri kerajinan tangan.
Alasan lain, ketidakpastian di tengah pandemi Covid-19 menyeret daya beli kerajinan tangan di dunia menjadi menurun. Mengingat, kerajinan tangan merupakan kebutuhan tersier. Bukan kebutuhan primer dan sekunder.
“Jangan heran, banyak pelaku usaha handicraft di Bali yang gulung tikar. Pekerjanya pun ikut dirumahkan dan di-PHK. Tenaga kerjanya sekareang banyak yang beralih profesi,” terangnya.
Adapun, kerajinan tangan yang diekspor oleh Bali, antara lain perak, bambu, rotan atau anyaman, gerabah, dan produk kain dari garmen. Kerajinan tersebut banyak dikirim ke AS dan Eropa. (sdn)